Tebu, Saccharum officinarum L, memiliki sejarah yang panjang sebagai komoditas pertanian komersial. Tebu diperkirakan berasal dari Papua dan mulai dibudidayakan sejak tahun 8000 sebelum masehi (SM). Tanaman ini kemudian menyebar ke berbagai tempat di dunia seiring dengan migrasi manusia, menyeberangi lautan dan mengarungi daratan. Tebu dari Papua menyebar ke kepulauan Solomon, New Hebride dan Kaledonia Baru.
Alkisah dua orang nelayan di Kepulauan Polinesia menemukan potongan batang tebu tersangkut di jaring ikan mereka. Salah seorang nelayan kemudian melemparkan batang tersebut ke darat karena mengira itu adalah potongan batang kayu biasa yang tidak berguna. Beberapa hari kemudian mereka melihat tunas-tunas muncul dan memanjang dari batang tersebut, yang kemudian diketahui sebagai tebu. Setelah itu, tanaman tebu berkembang di berbagai lokasi di Polinesia.
Dua abad kemudian tebu masuk ke wilayah Indonesia tengah dan barat, Philipina, serta bagian barat India. Gula kasar pernah diproduksi di India antara 400 SM hingga tahun 700 M (Masehi). Dari India, tebu dibawa ke China. Di China nira tebu dijemur matahari membentuk padatan yang disebut madu batu. Tahun 500 M tebu mulai memasuki Persia. Saat itu tebu dipakai sebagai pemanis pengganti madu dalam makanan dan minumam. Penyebaran tebu dari Persia ke wilayah yang lebih luas diawali oleh Nabi Muhammad SAW tahun 632 M atau sesaat sebelum beliau wafat ke berbagai wilayah khususnya Jazirah Arab. Tahun 710 M tebu masuk ke Mesir dan selanjutnya menyebar ke Maroko, Suriah, Mediterania, Madeira, dan pulau Canary. Dari Maroko, tanaman tebu menyebar ke Spanyol pada 755 M dan ke Sisilia tahun 950 M.
Buku resep atau Nimmatnamah yang ditulis dalam bahasa Perisia (1495-1505) oleh seseorang yang dipersembahkan kepada Sultan Mandu, Ghiyas-ud-din Khalji. Teks di atas menjelaskan tentang Kheer atau puding susu dan Kheema atau potongan daging berbumbu serta sapi yang menyusui anaknya. Teks di sebelah kanan merupakan saran agar diperoleh susu sapi yang sangat manis dan cocok untuk untuk pembuatan Kheer, maka sapi harus dipilih dengan baik serta dipakani tebu selama beberapa minggu sebelum susunya diperah (Sumber: Brithish Library).
Sekitar tahun 1493 Columbus membawa tebu dari pulau Canary ke Republik Dominika. Ini merupakan langkah awal penyebaran tebu di benua Amerika. Kurun 1500-1700 tanaman tebu menyebar ke daratan Amerika, Meksiko, Brazil dan Peru, kemudian ke Mauritius, Reunion dan Hawai. Tahun 1800-an, tebu mulai dikenal di Australia, Fiji dan Afrika Selatan.
Di Jawa, tanaman tebu diperkirakan sudah sejak lama dibudidayakan, yaitu pada zaman Aji Saka sekitar tahun 75 M. Perantau China, I Tsing, mencatat bahwa tahun 895 M gula yang berasal dari tebu dan nira kelapa telah diperdagangkan di Nusantara. Namun, berdasarkan catatan Marcopolo hingga abad ke-12 di Jawa belum berkembang industri gula seperti yang ada di Cina dan India. Kedatangan orang Eropa, terutama orang Belanda, pada abad 17 membawa perubahan pada perkembangan tanaman tebu dan industri gula di Jawa.
Pada awal abad ke-17 industri gula berdiri di sekitar selatan Batavia, yang dikelola oleh orang-orang China bersama para pejabat VOC. Pengolahan gula saat itu berjalan dengan proses yang sederhana. Sebagai gilingan digunakan dua buah selinder kayu yang diletakkan berhimpitan kemudian diputar dengan tenaga hewan (kerbau) atau manusia. Tebu dimasukkan diantara kedua selinder, kemudian nira yang keluar ditampung dalam suatu bejana besar yang terdapat di bawah gilingan. Pada saat panen tebu, “PG sederhana” ini bisa dipindahkan mendekati kebun.
Pada pertengahan abad XVII telah dilakukan ekspor gula ke Eropa yang berasal dari 130 pengolahan gula (PG tradisional) di Jawa. Seiring dengan perjalanan sejarah, jumlah PG di Jawa turun naik berfluktuasi. Ketika India mulai melakukan ekspor gula ke Eropa, industri gula Jawa mengalami persaingan ketat sehingga beberapa diantaranya tutup. Pada tahun 1745 di Jawa tersisa 65 PG, tahun 1750 bertambah menjadi 80 PG, kemudian akhir abad XVIII menyusut kembali menjadi 55 PG. Fluktuasi ini diduga berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan sekitar Batavia yang tidak lagi kondusif untuk budidaya tebu atau mungkin berkaitan dengan kesulitan permodalan.
Pada awal abad XIX, industri gula yang lebih modern yang dikelola orang-orang Eropa mulai bermunculan. PG modern pertama didirikan di daerah Pamanukan (Subang) dan Besuki (Jawa Timur). Akan tetapi, PG tersebut tidak bertahan lama dan mengalami kebangkrutan yang diduga akibat masalah perburuhan dan ketersediaan lahan sawah untuk tebu yang terbatas. Di Pamanukan, investor gula harus membuka lahan-lahan sawah baru yang butuh modal besar karena lahan sawah yang sudah ada diprioritaskan untuk padi.
Kurun waktu berikutnya industri gula Jawa mulai menggeliat bangkit seiring dengan diberlakukannya Cultuurstelsel oleh van den Bosch. Liberalisasi industri gula Jawa dipasung. Semua aktivitas ekonomi (perdagangan gula) swasta dilarang dan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1830 Bosch mengembangkan penanaman tebu di daerah pantura Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang dikelola secara profesional. Sebagian besar perusahaan keluarga diserahkan kepada para manajer profesional. Modal didukung oleh Javasche Bank, sedangkan manajemen inti dipegang orang-orang Eropa. Usaha-usaha penetrasi pasar dilakukan pemerintah Belanda melalui regulasi impor gula dengan memberikan potongan 15 gulden untuk setiap pembayaran cukai sebanyak 100 gulden. Tenaga kerja hampir sepenuhnya tidak dibayar alias gratis karena unsur paksaan oleh para penguasa bumiputra yang berkolaborasi dengan para penjajah. Perubahan kebijakan ini berhasil baik, dimana 10 tahun kemudian gula dari Jawa mampu mendominasi pasar dunia. Perkembangan berikutnya, beberapa PG mulai bermunculan di Jawa dengan dukungan pembangunan infrastruktur besar-besaran terutama dalam penyediaan sarana irigasi.
Kebangkitan industri gula di Jawa pada masa itu sebenarnya terkait juga dengan perubahan teknologi. Margarete Leidelmeijer dalam studi Doktornya di Universitas Teknologi Eindhoven, Belanda, tahun 1995 menulis disertasi tentang industri gula di Jawa berjudul Van suikermolen tot grootbedrift. Technische vernieuwing in de Java-suikerindustrie in de negentiende eeuw atau dalam terjemahan bebas kira-kira artinya “dari pengolahan gula sederhana ke pabrik-inovasi teknik pada industri gula Jawa abad sembilan belas” (No. 25 dalam seri NEHA 111, Dutch Guilders). Menurut Leidelmeijer, sejak Cultuurstelsel diberlakukan teknologi industri gula Jawa sebagian mengadopsi teknologi pengolahan gula bit di Eropa, salah satunya dengan menggunakan pan masak vacuum. Selain itu, dukungan para insinyur dan peneliti di Belanda yang difasilitasi kantor Kementrian Pemerintahan Kolonial ikut terlibat dalam pengembangan industri gula Jawa. Kontak antara para pelaku industri gula di Jawa dan Eropa saat itu cukup intensif. Mereka saling bertukar informasi tentang teknologi prosesing gula tebu dan gula bit. Industri gula Jawa pada akhirnya berkembang cukup pesat dan bahkan menjadi acuan bagi industri gula tebu dunia lainnya. Inovasi teknologi prosesing gula tebu yang dimulai abad XIX tersebut, kemudian disempurnakan dengan berbagai inovasi teknologi di abad XX hingga saat ini masih bertahan dan dipakai oleh sebagian besar PG Jawa.
0 komentar:
Post a Comment